
Oleh : Avif Ziaul Cholil, S. Pd.
Guru adalah profesi yang mulia. Dikatakan mulia sebab tujuan menjalani profesi guru bukan sekedar beroleh kesejahteraan duniawi. Lebih dari itu, orientasi utamanya adalah akhirat, yaitu mengamalkan ibadah jariyah, ibadah yang tak berputus pahala meskipun sang pengamal sudah tiada di dunia. Hal demikian sejalan dengan sabda Rasulullah SAW. :
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Artinya, “Apabila anak adam (manusia) meninggal dunia, maka terputuslah amalnya darinya, kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang selalu mendoakannya.” (HR Muslim No. 1631).
Dalam dunia belajar mengajar, seorang guru tentunya dituntut untuk menjadi guru yang kreatif, inovatif, dan profesional. Profesional dalam proses perencanaan, pelaksanaan, maupun proses evaluasi pembelajaran. Hal ini bertujuan agar dihasilkan peserta didik yang mampu mengembangkan potensi yang dimiliki.
Seorang guru harus mampu mengolah, mengombinasikan, serta memvariasikan model, metode, dan teknik pembelajaran. Namun begitu, terkadang terlupa akan satu hal yang tidak kalah penting dari itu semua, yaitu kejiwaan guru atau jiwa gurunya.
Pengampu pondok pesantren modern Darussalam Gontor, KH Imam Zarkasyi menyampaikan,
الطريقة أهم من المدة
والمدرس أهم من الطريقة
وروح المدرس أهم من المدرس بنفسه
At-thoriqotu ahammu minal maddah,
Wal mudarisu ahammu minat thaoriqoh,
Wa ruhul mudaris ahammu minal mudarrisi binafsihi.
Yang artinya :
Cara/metode itu lebih penting dari pada materi,
guru itu lebih penting dari pada metode,
dan ruh (jiwa) seorang guru jauh lebih penting daripada seorang guru itu sendiri.
Di dalam lingkungan sekolah, guru ideal selalu dirindukan, sebab guru ideal mengajar dengan hati, ikhlas dalam membimbing dan mendidik peserta didik. Setiap ucapannya selalu didengar dan membekas di hati para siswanya. Para siswa tidak pernah merasa bosan ketika berhadapan dengan guru dimaksud. Jika sang guru ideal tidak hadir, maka siswa sibuk mencarinya. Tak seorang siswa pun yang rela kehilangannya. Itulah sosok guru yang mempunya jiwa guru. Bukan sebaliknya, malah didoakan oleh para siswanya agar ia tidak hadir.
Kenyataannya zaman sekarang, banyak guru tidak memiliki jiwa guru. Bahkan, ironisnya ada guru yang mengabaikan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang guru. Seolah-olah ia bukan lagi berprofesi sebagai seorang guru.
Seorang guru yang mengajar, membimbing, mendidik, dan menasihati dengan ikhlas, serta gutu tersebut disiplin ketika mengajar, berakhlak baik kepada murid bahkan mendoakan mereka setiap selesai salat, insyaAllah, murid akan lebih mudah menerima ilmu dan nasihat dari guru tersebut. Karena memang yang berasal dari jiwa akan diterima oleh jiwa, dan yang bersumber dari hati akan diterima oleh hati.
Kita semua berharap semoga guru-guru khususnya yang ada di Indonesia betul-betul memiliki jiwa guru. Dengan demikian, akan lahirlah generasi-generasi bangsa yang diidamkan oleh semua orang, generasi bangsa yang berakhlak dan berbudi luhur, generasi yang mampu memimpin dengan hati ketika ia menjadi seorang pemimpin, generasi yang jauh dari sifat serakah, generasi yang tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jika semua itu bisa terwujud dan semuanya sadar atas tugas dan tanggung jawabnya, maka yakinlah bangsa kita akan menjadi bangsa yang makmur, bangsa yang hebat, bahkan bangsa yang selalu dirindukan oleh bangsa-bangsa lain.
Maka dari itu, ruh seorang guru lebih penting dari semuanya. Guru bukanlah sekedar pekerjaan, tapi dia adalah panggilan jiwa.
Menjadi guru itu mulia, lebih mulia dari tukang emas dan berlian sekalipun. Sebab seorang guru itu mendidik makhluk hidup yang berakal budi. Maka suksesnya seorang guru, apabila dia bisa mengantarkan muridnya ke gerbang cita-cita. Itulah kebahagiaanya, itulah kebanggaan * * *
