ORKES BUAH JATUH

Kaukira itu suara buah jatuh menimpa rawa, padahal suara susupan tambur dan gong dari dunia meta, ditabuh bareng oleh tangan halus di alam sirep, disusupkan ke dalam suara buah jatuh menimpa rawa.

Suara buah jatuh menimbulkan bunyi plung di telinga kepala, suara susupan gong dan tambur menimbulkan gelegar di telinga jiwa.

Kau kira remang malam di hutan rawa itu murni, padahal tercampur ngeri.

“Mengapa gamang, bukankah ini sisi balik dari malam yang kau kagumi?”

Kau kira suara buah jatuh fenomena biasa, padahal ketika jatuh pada malam hening mendentingkan dawai sukma. Kau kira suara buah jatuh membawa ajakan mengamat pohon dan rawa, padahal yang dibawa ajakan lesap di alam gelap.

Dan hutan rawa pun lesap dalam sepi, sepi lesap dalam hening, hening lesap ke relung remang, dan remang melesap ke dalam selingkup tempat yang tengah keramat.

Inilah titimangsa segala benda, tempat dan yang menempati, terkonsentrasi merespon ulah benda lain, mendengarkan suara yang ada dan menerka suara yang akan tiba. Dan penyaksi yang masih tergetar oleh bunyi dentum itu, mendengarkan suara napas sendiri berkata-kata, “Aku masih hidup dan larut di latar malam hutan rawa.”

Ini hal baru tentang mendengarkan.
“Mengapa buah seukuran kepalan bayi bisa menimbulkan suara sekuat itu, siapa sedang memainkan suara-suara,” pikir penyaksi.

Dia ingin terang segera tiba untuk mengamati buah pohon itu. Mengapa siang tadi pohon itu tidak mencuri perhatian agar diperhatikan. Mengapa siang tadi tidak terterka akan terjadi peristiwa istimewa. “Akankah pada terang pagi nanti, masih membekas peristiwa istimewa?”

Sang penyaksi mencari hal menarik atas pohon dan buah. Apakah hal menarik bisa terlihat mata, atau baru bisa dilihat hanya ketika tiba titimangsa, seperti titimangsa yang dialami bulan ketika purnama. Ataukah titimangsa itu bersifat manasuka, seperti titimangsa hadirnya sukacita.

Sisi menarik pohon itu berada di tandan, tetapi bukan buah ketika masih menggantung, melainkan buah ketika jatuh, ketika membentur muka rawa. O, bukan benturan itu paling menarik, tetapi bunyi yang ditimbulkan yang agung.

Jadi, pohon berbuah adalah pohon menjinjing alat tabuh, berbentuk bulat lonjong, ditabuhkan setiap waktu, menurutkan kesepakatan angin dan tarik bumi.

Rawa akan ditabuh, tanpa peduli didengar oleh telinga, tanpa peduli berbareng waktu azan, magrib maupun subuh. Maka, demikianlah yang terjadi atas pohon, buah jatuh alat musik ditabuh.

Demikian pula rawa, muka rawa adalah gong siap tabuh. Tertabuh lirih kala yang jatuh daun kuning. Tertabuh setengah kencang ketika yang jatuh kotoran burung. Dan penabuh paling handal adalah buah jatuh. Dan bila ingin tahu kapan sang penabuh di puncak piawai, di puncak emosi seni, datanglah ke tepi hutan rawa itu kala malam hening, jangan bawa kawan, siapkan telinga kepala dan telinga sukma, simak suara agung di dalam suara lirih.

Simak sorak sorai bercampur tawa gembira, dari para penghuni remang tak kasat mata, menyambut alun musik dari buah dan air, diedar ke seluruh arah, menggaung, menabuh bertalu-talu gendang telinga.

Penyaksi sepakat, daya pikat masing-masing pohon, berada pada hubungan saling dukung, dalam membentuk satu hutan. Dan ketika pohon-pohon menjadi hutan, daya tarik hutan terdapat pada hubungan penyatuan dengan rawa. Dan oleh sebab penyatuan itu, hutan dan rawa disebut hutan rawa. Dan ketika pagi, hutan rawa berjalin kecantikan dengan cahaya pagi. Dan ketika malam hening, hutan rawa berjalin pesona dengan remang, dengan sunyi, dan bunyi-bunyi.

Tetapi siapa dipilih saksikan pentas suara, oleh hutan dan rawa sebagai musisi, yang pasti bukan warga desa ini. Mereka kebal akan kemolekan hutan rawa. Mereka tidur daripada menyimak nyanyi hutan rawa. Dan suatu yang baru tentang hutan rawa, tidak mengubah rasa hambar mereka.

Kemudian penyaksi melihat keberadaan ikan-ikan. Tanpa ikan-ikan, jalinan cantik hutan dan rawa kurang kencang, sebab tanpa ikan tiada alasan, bisa diundang datang pemburu ikan.

Lalu, masihkah ada yang lebih penting namun luput disebut? Tentu saja ada. Sudah menjadi kelaziman, yang luput disebut kerap memberikan kejutan, maka biarkan yang tidak tersebut luput disebut, dan biarkan peristiwa di hening rawa, berkembang dengan kejutan-kejutan, agar manis dirasakan.

Bantuan

Dengan senang hati kami semua dapat melayani anda untuk segala sesuatu yang berkaitan dengan informasi sekolah