Oleh : Poedianto
Terbukti, jati diri bangsa adalah seni tradisi. Seni tari, seni batik, seni suara dan lainnya. Kesemuanya ini bermuara pada kearifan lokal.
Poedianto, pendidik, penulis dan pencipta lagu Jawa senantiasa berkarya. Sudah 255 lagu Jawa diciptanya. Berbagai tema diangkat dalam karya-karya lagu. Tentang pendidikan, persahabatan, bencana alam serta tema asmara.
“Ini hanya karya dasar. Namun bila ada yang berkenan menyanyikannya dan diiringi dengan alat musik yang memadai, saya kira akan lebih enak didengar,” papar Mbahkung Pudi, sapaan akrabnya.
Semua karyanya ditulis dengan lirik sederhana, diiringi dengan gitar usang dan dilantunkan sendiri dengan suasana yang santai. Semua karyanya sudah ada dalam youtube.
“Ini semua karena kecintaan saya terhadap seni tradisi,” ujarnya ketika ditanya sahabat-sahabat guru tentang karya lagunya. Di bawah ini dua lagu ciptaan Mbahkung Pudi yang diberi judul Ngudar Tali Asmara dan Sregep Sinau.
*
NGUDAR TALI ASMARA
Sepi wengi iki
Ra ana rembulan
Ra ana lintang
Aku lungguh dewe
Kekancan swarane ratri
Sepi wengi iki
Ra ana angin
Ra ana gemerisike gegodhongan
Reff.
Kelingan rikala semana
Bebarengan karo kowe
Nyecep manise madu
Ngudar tali asmara
Ngudar tali asmara
Karo kowe nalika semana
Sepi wengi iki
Aku lungguh dewe
Ra ana lintang
Ra ana rembulan
Sing ana ning dhuwur kana
Amung swarane ratri
Sing ngancani
Ngudar taline asmara
Kelingan nalika semana
Aku karo kowe
Nalika iku
Wis ngucap janji
Arep urip bebarengan
Kowe ngucap tresna
Aku uga ngimbangi
Nanging nganti seprene
Durung kelakon janjine
Putus ning dalan
Kena godane setan
Banjur kowe mlayu
Karo wong liya
Putus ning tengah dalan
Kena godane setan
Kowe mlayu karo wong liya
Sepi wengi iki
Aku lungguh dewe
Ra ana lintang
Ra ana rembulan
Amung kekancan
Swarane ratri
Amung kekancan
Swarane ratri
Ngudar taline asmara
Ngudar taline asmara
Ngudar taline asmara
Ngudar taline asmara
*
SREGEP SINAU
Sing sregep sinau
Sing sregep belajar
Ben pinter sekolahe
Sing sregep sinau
Sing sregep belajar
Ben apik rapote
Reff.
Patuh marang para guru
Manut marang bapa ibu
Mengko dalanmu bakal katon
Mengko uripmu bakal mulya.
*
SENI TRADISI
Tari pendet, tari reog, rasa sayange telah di klaim Malaysia. Ah, berulang terus kekayaan kita diakui milik negara lain. Pertanyaannya adalah kenapa bisa demikian ? Apa kita kurang bisa menjaga kekayaan seni budaya sendiri. Atau kita kurang memperhatikan payung hukum (patent) bagi kekayaan kita. Atau memang kita sudah tergiur dengan budaya manca negara sehingga kita lalai terhadap kekayaan kita sendiri.
Pepatah kita telah mengenal ā€¯Beruk di rimba disusui, anak dipangkuan dilepaskan.”
Semua memang sudah menjadi keresahan masyarakat akhir-akhir ini. Kalau kita memang dengan sungguh-sungguh mempelajari seni budaya bangsa sendiri, seperti semua tari tradisi, peninggalan-peninggalan sejarah, buku-buku kuno serta apa saja yang menjadi peninggalan nenek moyang kita, maka semua anak bangsa akan ikut handarbeni (ikut memiliki) kekayaan seni tradisi tersebut. Tari pendet Bali, tari reog Ponorogo dan tari tradisi lainnya adalah milik semua anak bangsa.
Sementara tari-tari modern yang datangnya dari manca negara dipelajari dengan sungguh-sungguh.
Jujur saja, berapa banyak tari tradisi yang sudah dikusai oleh siswa di sekolah. Lihat setiap acara pekan seni, atau acara peringatan hari nasional di sekolah, banyak tampilan siswa membawakan tari-tari modern.
Karenanya, dengan banyaknya kekayaan seni budaya kita yang di klaim oleh negara lain, seyogyanya kita juga harus instropeksi sejauh mana kita bisa menjaga kekayaan seni budaya sendiri. Jalan yang bijak adalah mensosialisasikan tari kita sendiri kepada anak didik lewat pembelajaran seni budaya di sekolah-sekolah. Sisi yang lain juga pemerintah harus melindungi dari segi hukum pada semua kekayaan seni budaya kita.
Jangan terulang lagi kekayaan leluhur kita, seperti tari, wayang, ramuan jamu, patung, kitab-kitab kuno dan semua yang merupakan peninggalan nenek moyang kita di klaim lagi milik bangsa lain. Semoga tidak.
URI-URI SENI TAYUB.
Budaya tradisi sebagai identitas bangsa, seyogyanya di “Uri-Uri” dilestarikan oleh segenap anak bangsa. Termasuk seni tradisi “Tayub.” Ini semestinya dilestarikan. Sebab negara berkewajiban menjaga, melindungi dan mengembangkan seni tradisi. Sebab hanya bangsa yang menghargai budayanya sendiri yang akan dihargai oleh bangsa-bangsa lain.
Pendopo Cak Durasim, Surabaya acapkali diadakan pertunjukan seni tradisi. Tempatnya luas, sejuk. Maka pemain maupun penonton tidak panas. Mereka betah ber-lama-lama. Sesekali angin sumilir mengusap hadirin yang sedang menikmati pagelaran.
Waranggono dari Kabupaten Trenggalek menabuh gending Ayak Gedog, Ndoro-Ndoro, Sri Rejeki, Ibu Pertiwi, Puji Rahayu, Puspo Warno serta gending-gending lainnya. Nyi Suyatmi, Nyi Puji Hartini, Nyi Sri Ani, Nyi Dewi Astuti, keempatnya penari tayub dan membawakan lagu-lagu gending tayub atas permintaan penonton.
“Kami sejak tahun 1994 sudah “manggung” dari kota yang satu ke kota lainnya. Oleh karenanya harus menguasai macam-macam gending. Gending ageng, gending madya dan gending alit,” ujar Nyi Suyatmi dan Nyi Puji Hartini kepada penulis sebelum naik pentas.
Ditanya membutuhkan waktu berapa lama untuk bisa menjadi sinden,
“Kami hanya membutuhkan waktu satu tahun untuk belajar menjadi sinden,” jawab keduanya dengan senyum manis.
SASTRA SYAIR LAGU.
Terbukti, jati diri bangsa adalah seni tradisi. Seni tari, seni batik, seni suara dan lainnya. Kesemuanya ini bermuara pada kearifan lokal.
Poedianto, pendidik, penulis dan pencipta lagu Jawa senantiasa berkarya. Sudah 255 lagu Jawa diciptanya. Berbagai tema diangkat dalam karya-karya lagu. Tentang pendidikan, persahabatan, bencana alam serta tema asmara.
“Ini hanya karya dasar. Namun bila ada yang berkenan menyanyikannya dan diiringi dengan alat musik yang memadai, saya kira akan lebih enak didengar,” papar Mbahkung Pudi, sapaan akrabnya.
Semua karyanya ditulis dengan lirik sederhana, diiringi dengan gitar usang dan dilantunkan sendiri dengan suasana yang santai. Semua karyanya sudah ada dalam youtube.
“Ini semua karena kecintaan saya terhadap seni tradisi,” ujarnyaketika ditanya sahabat-sahabat guru tentang karya lagunya.
SINDEN
Hanya di SMK Negeri 12 Surabaya yang mengajarkan ilmu pesindenan dan pedalangan di Surabaya. Tak semudah yang dibayangkan orang untuk menjadi seorang sinden. Dibutuhkan ketelatenan, keluwesan, wira swara dan tentunya harus menguasai gending. Gending alit, gending nengah dan gending gedhe. Namun dalam perkembangannya, seiring interaksi budaya dan selera masyarakat, profesi sinden harus bisa juga melantunkan lagu berirama langgam, keroncong, campursari, bahkan lagu berirama dangdut, pop dan irama lainnya.
Tidak kalah pentingnya sikap perilaku dalam membawa diri di tengah pertunjukan. Kesemuanya ini akan menentukan dalam mengemban nama baik profesi sinden.
Sinden harus bisa mengikuti iringan gending dalam pagelaran wayang. Ketika jejer pertama yaitu Gending Soren (sore), Patet Sanga (tengah malam) serta Patet Manyuro (menjelang subuh).
Waktu goro-goro (Semar, Gareng, Petruk, Bagong), banyak permintaan dari penonton untuk meminta dilantunkan lagu-lagu. Gending, campursari, langgam, keroncong dan segala lagu lainnya. Seorang sinden seyogyanya melayani permintaan penonton. Bila kesemuanya itu bisa dilayani dengan baik, maka sinden tersebut sudah bisa dikatakan sinden yang mumpuni. Kesemuanya itu akan membantu popularitas. Seperti Nyi Sanyem, Nyi Sunyahni, Nyi Tjodro Lukito, Nyi Suwarni, Nyi Elisha, Nyi Eka, Nyi Candra serta yang lainnya.
Sinden, harus menguasai gending klasik. Misalnya, Gending Semarangan, Gending Rujak Sentul, Gending Jangkuk Kuning dan gending-gending klasik lainnya.
Menjadi pengrawit seperti Yurnino Takenouchi, pengrawit dari Jepang memerlukan belajar dengan waktu lama. Sindenpun demikian. Sinden juga belajar makna dari tembang. Seperti tembang Maca Pat. Ini membutuhkan waktu yang lama, telaten serta tekun dalam mempelajarinya.
Sinden pemula harus belajar Gending Madya. Misalnya, Ladrangan, Pangkur, Asmaradana, Ciblon, Jineman dan lainnya. Kemudian meningkat ke Gending Gedhe. Seperti Gambir Sawit, Onang-Onang dan gending gedhe lainnya.
Gending langgam masa kini juga harus bisa dilantunkan. Contoh, Ngidam Sari, Bengawan Sore, Caping Gunung dan gending langgam lainnya.
Rupanya omongan miring terhadap profesi sinden juga masih ada, bahkan benci terhadap sinden.
SINDEN LUAR NEGERI
Hiromi Kano dari Jepang, Megan O’Donoghue dari Amerika, bahkan bukan berasal dari Jawa, seperti Elisha Orcarus Allasso dari Sulawesi Tengah, ketiganya membutuhkan waktu yang lama belajar menjadi sinden. Harus menguasai gending-gending Jawa. Baik gending alit, gending tengah dan gending gedhe. Belum lagi tentang cengkok. Untuk mempelajari kesemuanya membutuhkan waktu yang lama.
TANDAK ANDONG
Desa Paras, Lawang, Malang, dikenal dengan seni tradisi Tandak Andong. Yaitu penari yang diiringi seperangkat gamelan yang ngamen keliling dari tempat yang satu ke tempat yang lainnya. Tandak Andong, seperti Engtrak di Blitar, Lengger di Madiun, sudah mulai tersingkir dalam percaturan seni tari pertunjukan. Bahkan anak-anak muda lebih tertarik dengan tari dance, tari modern dan tari kekinian yang lain.
Karsinah, penari Tandak Andong, merasa sedih terhadap keadaan ini. Tandak Andong semakin lama semakin tergerus oleh pergumulan jaman dan semakin ditinggalkan oleh generasi muda. Namun Karsinah sudah berupaya agar seni Tandak Andong dicintai kembali oleh masyarakat sekarang. Tetapi upaya Karsinah rupanya mengalami kesulitan.
Gedung Cak Durasim Surabaya sering mengadakan pagelaran ludruk, janger Banyuwangi, ketoprak, teater, wayang kulit dan seni pertunjukan lainnya. Seperti Ludruk Kendo Kenceng dari kota Malang yang tampil dengan inspiratif. Para pemain dari siswa-siswa SMP Negeri 18 Malang, SMA Negeri 7 Malang, mahasiswa dan dosen Universitas Brawijaya Malang, Universitas Gajahyana Malang dan Universitas Malang (UM). Tampil dengan suasana kekinian dan penuh dengan sindiran-sindiran kritik sosial terhadap konstelasi era sekarang. Ini tampak dalam lakon Karsinah.
Sutradara Sutak Wardiono yang juga pelatih tari dari Malang menuturkan kepada penulis dengan serius di ruang rias Gedung Cak Durasim Surabaya bahwa pentingnya uri-uri seni tradisi.
Gending Jula-Juli, gending Samirah dan gending-gending lainnya dilantunkan oleh Kartika, mahasiswa Universitas Malang dengan suara renyah, merdu dan mampu membuat terkesima penonton.
Walau malam semakin malam, udara dingin menusuk kulit, namun penonton enggan bergeser dari duduknya, menikmati hiburan rakyat dengan riang gembira.
Mari kita rayakan budaya bangsa sendiri. Lestarikan Budaya Bangsa.
JALAN NYI TJONDROLOEKITO
Jalan Nyi Tjondroloekito, Sleman, Yogyakarta. Penamaan jalan ini sebagai bentuk penghargaan kepada seniwati sinden kondang Nyi Tjondroloekito. Warga Yogyakarta yang sangat kental terhadap kultur Jawa. Baik budaya, adat, seni, musik, bahkan religiusitas juga tak lepas dari kultur Jawa. Maka sangatlah lumrah bila Nyi Tjondroloekito namanya dijadikan salah satu nama jalan utama di bumi Mataram.
Jalan Tjondroloekito letaknya membujur dari selatan ke utara, di perempatan besar Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Arah ke barat menuju Magelang. Arah ke timur menuju Kaliurang. Arah ke selatan menuju Tugu Yogya dan Malioboro.
Nyi Tjondroloekito, sinden kondang, mempunyai suara emas dalam dunia pesindenan. Gending gedhe, gending alit, gending klasik dikuasainya. Bersama dalang Ki Narto Sabdo sudah menghasilkan banyak lagu-lagu dalam irama gending, langgam dan keroncong. Seperti Perahu Layar, Sarung Jagung, Selendang Biru, Ojo Dipleroki, serta lagu-lagu gending lainnya lagi. Karenanya, sering kali pentas di istana negara, provinsi, kabupaten, bahkan ke luar negeri. Maka, mari hargai seni. Hidup hidupilah seni. Sebab, seni adalah mata kehidupan. Tanpa seni, kehidupan menjadi buta.
*
Poedianto, Guru SMK Pariwisata Satya Widya Surabaya.