Oleh : Poedianto
Baru beberapa lembar buku Managemen Perusahaan aku baca, di luar terdengar sepeda motor Pak Pos masuk pagar halaman. Aku bergegas lari kecil menghampiri dan ku terima beberapa pucuk surat. Aku pun mendesis, “Makasih, Pak.”
Aku baca satu persatu sampul surat, tak satupun untukku, dan kuletakkan di atas meja ruang tamu kos-kosan. Siang itu jarum jam dinding menunjuk pukul sepuluh. Aku bergegas mandi, berpakaian, pasang sepatu, kutanting tas kuliah.
Seperti biasanya di bawah pohon akasia, sudah berjajar mahasiswa berbincang sambil duduk di bangku yang terbuat dari beton semen. Aku melihat Susi teman sekosku melambaikan tangan padaku, aku pun menyambut. Aku tak menghampiri, terus jalan masuk ke ruang perpustakaan. Kupinjam beberapa buku bacaan.
“Wang, Nawang…” terdengar teman kuliah memanggil dari belakang.
Aku menoleh, “He Adib, lama tak kelihatan. Kemana saja?
Adib tersenyum kecil sembari menghisap rokoknya dalam-dalam. Lalu aku menghampiri dan duduk bersanding di teras perpustakaan. “Aku membantu orang tua di desa. Bulan kemarin kan musim panen tiba. Aku terpaksa tidak kuliah beberapa saat,” katanya pelan padaku dengan dahi berkerut.
Aku memandanginya sejenak. Ruang perpustakaan ramai siang itu. Ada yang berbincang sendau gurau. Ada yang melihat-lihat buku yang akan dipinjam. Ada yang duduk tepekur membaca. Di luar terdengar lamat-lamat lagu khas Waljinah “Jangkrik Genggong” dari suara radio kantin kampus.
Adib bertutur betapa sulitnya sekarang untuk bertani di desa. Harga pupuk yang membubung tinggi, upah buruh tani mengikutinya, belum kekuatiran akan banjir. Kesemuanya itu petani bisa merugi. Aku hanya mengangguk mendengar keluhannya. Aku mengambil koran yang digepit tangan Adib. Aku baca headline-nya, kesemuanya memberitakan maraknya kampanye pemilu. Aku tutup kembali koran itu.
“Aku juga baru pulang dari rumah di desa. Ada sepupu yang menikah,” kataku.
Adib menggapai lenganku dan diajak masuk kantin.
Selang beberapa hari, kampus tempatku kuliah ramai membicarakan pemilu. Hilir mudik orang-orang yang tak ku kenal keluar masuk kampus. Rupanya di kantin kampus juga dibuat obrolan-obrolan pemilu. Saling argumentasi terhadap calonnya. Aku tetap saja tak menghiraukan.
Lalu aku masuk perpustakaan untuk mengembalikan beberapa buku yang aku pinjam. Di luar perpustakaan, tampak Adib berdiri dengan bertolak pinggang dihadapan beberapa teman kuliah. Sesekali jemarinya mengepal. Suaranya meninggi. Aku menghampiri, mengambil tempat duduk disela-sela teman kuliah. Susi kawan sekosku juga nimbrung.
Hangat perbincangan siang itu. Soal calon gubernur. Dosen, mahasiswa mempunyai pilihannya sendiri-sendiri. Namun ada juga yang tak peduli dengan adanya pemilu.
“Kampus itu tempat belajar, tidak perlu kita terkontaminasi dengan dukung mendukung calon gubernur,” suara Adib keras menegang. “Kita kan calon-calon intelektual, karenanya jangan mudah terpesona pencitraan calon-calon tersebut,” suara Adib semakin meninggi.
“Calon-calon gubernur, bupati, walikota kan politikus semua,” sela Susi yang ikut angkat bicara.
“Makanya setelah calon-calon itu tercapai tujuannya, banyak yang mengecewakan. Dan tidak sedikit yang tertangkap petugas hukum karena korupsi,” tandas mahasiswa yang gemuk bulat.
Adib tersenyum diiringi tertawa berkepanjangan teman-temannya.
Gayeng, siang itu. Walau silang pendapat, tetapi masih menghargai pemikiran yang berbeda.
*
Selang beberapa waktu, di pasar sore aku dan Adib menikmati nasi goreng di warung. Kami duduk sangat rapat. Adib makan sambil berbicara tentang banyaknya kemerosotan moral para pemimpin. Tertangkap aparat hukum karena korupsi. Sementara pundak rakyat semakin berat memikul beban hidup. Bencana alam yang sering terjadi. Biaya pendidikan yang tidak murah. Sulitnya mencari pekerjaan. Semuanya menambah beban hidup. Aku hanya mendengarkan omongan Adib.
Nasi goreng sudah habis. Teh hangat sudah tinggal seteguk. Kusenggol pundak Adib, dikeluarkannya beberapa lembar uang dari dompet untuk membayar nasi goreng dan teh. Aku digandeng keluar warung, sepeda motor di stater. Sore itu aku berkeliling menelusuri jalan dengan berboncengan sepeda motor. Kudekap pinggang Adib erat.
Angin semilir mengusap wajah. Berderai rambutku.
“Nonton ketoprak?” tawar Adib.
Aku menolak. Aku ingin memutari alun-alun.
Malam semakin malam. Udara dingin menembus kulit. Aku pakai kaos switer tebal berwarna coklat muda. Adib juga memakai jaket berwarna hitam. Beberapa puntung rokok sudah di asbak. Aku dan Adib masih bercengkerama di beranda depan rumah. Di samping rumah tampak tumpukan karung berisi gabah padi. Adib mengutarakan bahwa ayah dan ibunya yang sudah tua. Dan kekuatiran akan kelangsungan penggarapan sawah. Sementara kakak satu-satunya sudah menetap di kota sebagai guru negeri.
“Nawang, kau suka bertani?” tanya Adib, aku mengerutkan dahi.
Adib memandangku tajam dan kemudian senyum manisnya tersembul, tanda mengerti jawabku. Adib mendekapku mesra. Kusandarkan kepalaku pada pundak Adib. Telapaknya mengelus rambutku yang terurai lepas.
Sayup-sayup terdengar gending-gending klenengan Jawa dari radio dalam rumah.
Tambah dingin saja malam itu. Langit biru bersih, bintang pun bekerdipan satu dengan yang lainnya.
“Apakah bapak dan ibumu di rumah sudah tahu hubungan kita?” suara Adib pelan berbisik.
“Sudah. Ketika aku pulang ke rumah beberapa waktu yang lalu, aku ceritakan semuanya.”
“Dan setuju dengan hubungan kita?” tanya Adib lagi.
“Siapa yang menolak punya mantu calon sarjana, ganteng, gagah, pintar?” aku manjakan suaraku.
Adib tertawa kecil. Tangannya merobek bungkus rokok. Cepat-cepat aku ambil bungkus rokok itu, aku masukkan ke saku beserta koreknya. Adib mencubit pipiku. Kami saling pandang, kemudian tertawa bersama. Tangannya merogoh rokok ke sakuku. Aku pegang tangannya. Adib tak jadi mengambil bungkus rokok di sakuku. Kemudian suaraku lirih di telinga Adib.
“Aku belum pernah dengar kau mengatakan . .
“Mengatakan apa?” suara Adib agak meninggi.
“I love you.”
Malam semakin malam, hanya suara cengkerik dan belalang bersahutan. Kedua anak muda itu terdiam. Pikirannya menerawang masa depan.
S e l e s a i
Poedianto, Guru SMK Pariwisata Satya Widya Surabaya.