
GATOTKACA-PERGIWA.
Gatotkaca putra Bima jatuh hati kepada Dewi Pergiwa putri Harjuna. Rupanya cinta Gatotkaca tak bertepuk sebelah tangan, sebab Dewi Pergiwa juga mempunyai rasa cinta yang sama.
Keduanya memadu kasih dengan tulusnya di setiap kesempatan. Sebab Gatotkaca adalah perwira tinggi di jajaran keprajuritan negara Amarta.
Adapun Dewi Pergiwa bersama adiknya Dewi Pergiwati adalah prajurit wanita yang banyak tugasnya untuk memajukan wanita-wanita di kadipaten Madukara. Prajurit wanita di kadipaten Madukara dipimpin oleh Dewi Srikandi dan Larasati, keduanya istri Harjuna.
Berbagai kendala dilaluinya, namun cinta yang tulus akan menemukan jalannya sendiri. Maka sampailah pada perkawinan kedua putra bangsawan tersebut.
PANDAWA BOYONG.
Perang besar Barata Yudha selesai. Pandawa menang perang atas Kurawa. Seluruh keluarga Pandawa boyong (pindah) dari negara Wirata ke negara Hastinapura. Krisna sebagai penasehat Pandawa, mengadakan sesaji (upacara) besar-besaran, dan mengundang seratus raja dari tanah Hindi. Upacara tersebut dinamakan Sesaji Aswameda, artinya mengkukuhkan Yudhistira, saudara tertua Pandawa, sebagai raja di negara Hastinapura.
Ramai alun-alun negara Hastinapura. Seluruh rakyat menyaksikan penobatan Yudhistira sebagai raja. Semua tontonan dipentaskan. Bahkan juga ada acara pelepasan seratus ekor kuda jantan di alun-alun.
Singkat cerita ada dua raja yang mbalelo (berontak), karena tidak setuju atas penobatan Yudhistira sebagai raja Hastinapura. Raja Gardayaksa dan raja Gardawara mengerahkan prajuritnya untuk mengepung panggung upacara Sesaji Aswameda. Namun pemberontakan dua raja tersebut cepat ditundukkan oleh Bima dan Harjuna.
SRIKANDI LARASATI.
Matahari belum tampak wajahnya, istana Madukara geger, karena gedung perbendaharaan senjata dibobol maling. Senjata-senjata andalan ikut juga hilang. Keris Pulanggeni, keris Sarutomo dan panah Pasopati, kesemuanya adalah senjata andalan Pangeran Harjuna untuk membentengi istana Madukara dari serangan musuh.
“Patih Sucitro dan Senopati Perang Suroto, bagaimana ini bisa terjadi. Gedung senjata bisa dimasuki musuh. Dan semua senjata andalan juga bisa hilang,” tanya Pangeran Harjuna selaku Adipati Madukara kepada dua prajurit kepercayaannya itu.
Kedua punggawa istana Madukara itu hanya menundukkan kepalanya. Lalu Pangeran Harjuna bertanya sekali lagi, baru Patih Sucitro menjawab dengan suara pelan, “Ampun pangeran Harjuna. Sesungguhnya yang mengambil semua senjata di gedung perbendaharaan senjata itu adalah Raden Ayu Srikandi dan Raden Ayu Larasati. Oleh karenanya kami para prajurit tak kuasa menolaknya,” suara Patih Sucitro pelan.
Pangeran Harjuna berdiri dari duduknya. Dan matanya melotot memandang Patih Sucitro. Pangeran Harjuna meloncat tepat di depan Patih Sucitro, kemudian teriaknya, “He patih Sucitro, kau jangan lancang berbicara. Tidak mungkin kedua istriku mengambil senjata-senjata itu tanpa perintahku,” suara Pangeran Harjuna dengan nada tinggi sambil mengguncang-guncangkan badan Patih Sucitro.
Dalam pada itu juga Raden Ayu Srikandi serta Raden Ayu Larasati masuk ke paseban istana dengan jalan jongkok, lantas menghatur sembah kepada Pangeran Harjuna. Tak lama kemudian Raden Ayu Srikandi menjelaskan perihal hilangnya pusaka-pusaka istana Madukara.
“Duh pangeran, malam itu dua orang prajurit wanita dari kerajaan Amarta membawa surat dari Prabu Yudhistira yang diserahkan kepadaku. Isi surat itu perihal meminjam senjata-senjata yang menjadi pusaka istana Madukara. Lalu tanpa pikir panjang hamba dan adinda Larasati minta izin Patih Sucitro dan Senopati Suroto. Dan hamba beserta adinda Larasati yang masuk gedung pusaka mengambil pusaka-pusaka itu untuk kami serahkan kepada prajurit wanita utusan raja Amarta. Tetapi kenyataannya pusaka-pusaka itu tidak sampai ke tangan Prabu Yudhistira, malahan jatuh ke tangan musuh, yaitu gerombolan-gerombolan bersenjata yang berpihak ke Kurawa di kerajaan Hastinapura. Dan lagi malam itu paduka tidak ada di istana Madukara, paduka masih berada di padepokan eyang Wiyasa di lembah gunung Arga Bangun,” papar Srikandi dengan hati-hati.
Namun Harjuna tidak mau tahu tentang hal ini, maka seluruh kesalahan ditumpahkan kepada kedua istrinya itu sebagai penanggung jawab istana Madukara tatkala dirinya tidak berada di istana.
Siang itu juga Raden Ayu Srikandi dan Raden Ayu Larasati (keduanya prajurit wanita) bersama Patih Sucitro, Senopati Suroto menyiapkan pasukan segelar sepapan untuk memburu pencuri pusaka istana Madukara.
Berkat ketajaman prajurit telik sandi Madukara, akhirnya ketahuan juga tempat persembunyian pencuri-pencuri pusaka.
Dikepunglah persembunyian gerombolan tersebut dan tak membutuhkan waktu yang lama, gerombolan dapat ditaklukkan. Kedua prajurit wanita Amarta yang menjadi penghianat dengan menjual pusaka-pusaka ke gerombolan, juga terbunuh oleh keris cundrik Srikandi dan Larasati.
Menjelang malam, sepasukan prajurit Madukara sudah sampai di Alun-Alun Madukara dengan membawa puluhan tawanan.
Raden Ayu Srikandi, Raden Ayu Larasati, Patih Sucitro dan Senopati Suroto membawa pusaka-pusaka yang dicuri musuh ke hadapan Pangeran Harjuna.
WAHYU PANCA DARMA
Sapa sing temen, bakal tinemu (siapa yang sungguh-sungguh akan tercapai keinginannya). Ungkapan ini senantiasa dipegang oleh para Pandawa, demikian Ki Supriyono, S. Sn, dalang wayang kulit, mengawali bincang-bincang dengan penulis di SMK Negeri 6, Surabaya, tentang pagelaran wayang kulit yang akan dipentaskannya malam ini, dengan mengambil lakon Wahyu Panca Darma.
Pandawa, karena budi pekertinya, kebaikannya, mendapat wahyu Panca Darma. Dalang yang juga guru kerawitan dan pedalangan di SMK Negeri 12, Surabaya ini merinci makna wahyu tersebut. Panca itu lima, Darma itu lelaku (yang dijalankan keseharian). Itu terwujud pada Yudhistira (saudara tua Pandawa) yang mempunyai sifat mengalah, welas asih, selalu memberi. Bima, yang mempunyai sifat tegas, kukuh dalam pendapat. Harjuna, yang suka persaudaraan, suka membagi ilmu kepada anak-anak muda. Nakula, selalu berhati-hati dalam bertindak, menyukai keasrian, keindahan, suka bertanam bebungaan dan bertani. Sadewa, suka memelihara kuda, kerbau, sapi dan sejenisnya. Namun kelima lelaku tersebut manunggal menjadi satu dalam wahyu Panca Darma.
Lebih lanjut dalang kelahiran Nganjuk 3 Januari 1973 ini menerangkan bahwa setiap wahyu turun, selalu saja ada bet ribet penggoda (goda). Seperti tatkala wahyu Panca Darma turun pada Pandawa.
Bathari Durga (dewa penggoda) menggunakan para Kurawa di negara Hastina untuk menghalangi turunnya wahyu tersebut. Tak terelakkan perang terjadi.
Dalam pada itu juga, Dewa Serani (putra Bathara Guru dan Bathari Durga) juga berkehendak memiliki wahyu Panca Darma. Maka sudah barang tentu para Pandawa kesulitan menghadapi dua musuh sekaligus (Kurawa dan Dewa Serani). Apalagi Bathara Guru dan Bathari Durga mendukung musuh-musuh Pandawa. Maka tak ada jalan lain, Pandawa meminta bantuan kepada Ki Semar. Sontak Ki Semar naik ke kayangan (negara para dewa) dan diobrak-abrik hingga porak poranda kayangan tersebut.
Singkat cerita, para dewa meminta maaf kepada Ki Semar. “Oleh karena itu, kalian semua para dewa harus sungguh-sungguh memelihara dunia beserta isinya. Jangan pilih kasih dalam memimpin. Wahyu harus tepat pada orang yang menerimanya. Pandawa yang tepat menerima wahyu. Bukan Dewa Serani yang mempunyai watak tamak, iri, drengki. Apalagi para Kurawa yang angkara murka itu,” papar Ki Semar kepada para dewa.
Bulan bulat bundar. Sinarnya menerangi langit negara Amarta. Rakyat suka ria. Sawah dan tegalan panen raya. Pandawa menerima wahyu Panca Darma.
SALAHKAH DORNA MENDIDIK ?
Pandita Dorna, yang masa mudanya bernama Bambang Kumboyono. Dorna telah meniti kariernya hingga berhasil sebagai Pandita dan dipercaya menjadi Guru di Negara Hastina Pura. Sebagai pandita karena menanamkan ajaran moral dengan mengajarkan kitab-kitab religi kepada para kesatria Hastina Pura. Yaitu Kurawa dan Pandawa. Harapannya para siswa menjadi halus budi. Dengan demikian akan bisa membangun nilai-nilai luhur terhadap sesama.
Sebagai guru telah mendidik ilmu dan pengetahuan. Baik ilmu dan pengetahuan pemerintahan, perang dan ilmu menggunakan senjata. Guru Dorna mengajarkan ilmu pemerintahan, kemanusiaan, teknik perang, teknik penggunaan senjata kepada semua siswanya. Tanpa pilih kasih. Dengan demikian membangun kekuatan fisik, olah kanuragan, olah rasa senantiasa mendapat bimbingannya. Pandawa dan Kurawa, secara adil tanpa ada pilih kasih mendapat semua materi ajarannya.
Semua murid tersebut menerima ajaran dengan bobot timbangan yang sama. Dorna memandang olah rasa dan olah raga adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Olah rasa membangun ketajaman batin, sementara olah raga membentuk kekuatan raga. Dan diibaratkan bagai sekeping mata uang yang kedua sisinya mempunyai gambar berbeda. Tetapi satu kesatuan yang utuh.
Para siswa menyimak dengan seksama setiap ajaran.
Dalam perjalanan waktu hasil yang didapat antara Kurawa dan Pandawa mempunyai kharakter serta kepandaian yang sangat beda. Kurawa mempunyai sifat yang tamak, serakah serta mengedepankan kepuasan materi semata. Sementara Pandawa berbudi luhur, mengalah, tidak materialistik. Untuk meraih kebahagiaan hidup senantiasa mengutamakan kepentingan bersama.
Dan apa yang salah?
Kita kaji lingkungan, baik keluarga maupun pengasuh di rumah. Kurawa diasuh oleh sang paman yang mempunyai watak iri, dengki dan tamak. Dari sang paman yang bernama Sangkuni inilah membentuk watak jelek terbangun.
Sementara Pandawa diasuh oleh sang ibu, Dewi Kunti, yang sudah menjanda sejak putra-putranya kecil. Dengan penuh derita dan upaya yang sungguh-sungguh, mencarikan nafkah anak-anaknya. Dewi Kunti mendongengkan segala bentuk cerita yang dialami untuk dijadikan suri tauladan dalam meniti kerasnya kehidupan. Sehingga Pandawa tabah, tahan dalam menghadapi pergumulan hidup keseharian.
Kedua eskalasi inilah yang pada gilirannya membentuk watak serta sepak terjang masa depan semua murid Begawan Dorna.
Suatu siang, Sangkuni memanggil semua keponakannya yaitu Kurawa, menanyakan hasil pendadaran ilmu. Baik pemerintahan, perang, sastra yang ditimba selama menjadi siswa Guru Dorna. Sebab kerabat Hastina sudah mengetahui bahwa Pandawa lebih unggul dari Kurawa.
Lantas kemudian Sangkuni mengajarkan siasat buruk. “Anak-anakku Kurawa semua dari yang sulung hingga yang bungsu. Kalau semua berargumentasi beradu dada, beradu segala sesuatu dengan Pandawa, jelas hasilnya, kalian akan kalah. Itu bukan kemampuan Kurawa yang kurang, namun gurumu Dorna yang pilih kasih dalam memberikan ilmu pada siswanya. Pandawa dikasih penuh, kalian para Kurawa hanya dikasih separuh. Gurumu yang tidak adil. Dan karenanya, mulai sekarang para Kurawa harus menggunakan cara yang lebih licin,” urai Sangkuni dengan akal busuk.
“Maksud Paman?” sahut Kurawa.
Dengan senyum sinis, Sangkuni meneruskan, “Anak-anakku, dengan berbagai cara Pandawa harus sirna di dunia. Misal, kita adakah pesta kelulusan siswa di dalam pesta kita bikin mabuk para Pandawa, setelah mabuk kita kubur dengan kayu, dan kemudian bakar,” suara pelan Sangkuni.
Dewi Kunti memanggil anak-anaknya setelah selesai dalam berguru pada Pandita Dorna. Pandawa lulus dalam pendadaran, namun tanpa ada puja-puji, malahan memberi siraman pada anak-anaknya agar kelulusan dipakai untuk ikatan meniti ke jenjang berikut. Dan yang lebih penting dari itu semua, Pandawa jangan membanggakan ilmu hanya sebatas berlandaskan kesombongan, bahkan seharusnya ditularkan pada siapapun yang membutuhkan, dan tutur Dewi Kunti berikut. “Setelah menimba ilmu, kalian seharusnya mengamalkan pada sesama. Bukankah kalian diajari oleh Guru Dorna. Jadilah kalian sifat bulan karena menerangi pada malam hari, jadilah sifat air karena air mengairi kehidupan, dan seperti sifat-sifat yang ada pada ajaran kebajikan. Bukankah ini ada dalam ilmu pengetahuan agama. Jangan hanya tamat dalam membaca, namun juga tamat dalam memaknainya,” Dewi Kunti diam sejenak, dipandangilah satu persatu putra Pandawa. Dan kemudian, “Paham maksud ibu anak-anakku,” Hamba kanjeng ibu,” sahut Pandawa bersama. Kedua pengaruh lingkungan keluarga inilah yang membedakan antara Kurawa dan Pandawa. Yang satu mengajari kelicikan, pokok maksud tercapai. Yang satu mengajari kebajikan untuk peduli pada sesama, walau berkembang walau terkadang mengalami derita. Yang satu dalam menempuh keinginan dengan ukuran materi, Yang satu dalam menempuh keinginan dengan ukuran surgawi. Keduanya bertolak belakang, keduanya menempuh jalan beda. Dan disinilah bibit pertama pecahnya perang Barata Yudha. Kalau demikian, salahkah Dorna mendidik?
NASEHAT KRESNA KEPADA HARJUNA.
Ephos, cerita kepahlawanan bagi para satria sudah ada sejak dahulu kala. Watak satria, harus tegas serta menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, kebenaran dan keadilan.
Sebuah cuplikan cerita perang Barata Yudha, antara Pandawa dari negara Amarta menghadapi Kurawa dari negara Hastina. Cerita ini diangkat dari episode Bhagawad Gita.
Esensi alur cerita ini dimulai dari keraguan hati Harjuna tatkala diangkat sebagai senopati perang untuk memimpin prajurit Amarta dalam menghadapi prajurit Hastina. Keraguan sikap Harjuna ini sempat dibaca oleh Prabu Kresna raja negara Dwarawati (penasehat Pandawa). Maka Kresna berkenan menasehati Harjuna, agar Harjuna teguh untuk maju di medan perang.
“Adinda Harjuna,” sapa Kresna pelan, saat tengah malam menjelang perang Bharata Yudha. Harjuna mengangkat wajahnya yang suram, dan melihat Kresna menghampirinya.
“Apa yang membuat adinda bermuram durja,” suara Kresna dengan nada selidik.
“Duh, kakanda Kresna, perang Bharata Yudha ini akan banyak menelan korban. Dan korban itu adalah saudara-saudara sendiri. Guru kita sendiri, eyang kita sendiri, paman-paman kita sendiri, keponakan-keponakan kita sendiri. Dan siapapun yang menang nanti, sudah jelas akan menangisi korban-korban perang. Kakanda Kresna, nanti banyak istri yang menjadi janda, karena suaminya mati di medan perang. Banyak gadis yang ditinggal mati kekasih, banyak ibu yang menangis sedih, karena putra-putranya meninggal di medan laga. Ini yang hamba takutkan,” papar Harjuna dengan suara parau. Kresna menatap adik iparnya dalam-dalam.
Hening malam itu. Udara dingin terasa menusuk kulit. Suara cengkerik dan belalang bersahut-sahutan.
Langit tertutup mendung tipis, angin bertiup pelan menambah dinginnya malam. Kresna melihat sekeliling. Tenda-tenda prajurit seolah beku. Para petugas jaga malam masih dengan posisi sigap. Desir angin pelan datang dan membuat gemerisik dedaunan pohon-pohon yang ada di sekitar tenda-tenda prajurit.
Kresna melirik Harjuna sekilas, dan kemudian beringsut mendekati Harjuna, lantas duduk di samping Harjuna.
“Adinda Harjuna,” suara Kresna memecahkan sepinya malam. “Kalau kita membaca kitab-kitab kuno, banyak ditemui kisah peperangan. Peperangan sesama manusia. Namun ada beberapa peperangan di setiap lakon manusia. Perang membela kebenaran. Perang mempertahankan kekuasaan. Perang demi pangkat. Perang untuk memperluas imperium wilayah. Perang rebutan warisan. Perang soal wanita.” Kresna berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Adinda Harjuna, perang kali ini bukan hanya sekedar tentang rebutan kekuasaan, tetapi perang mempertahankan kebenaran, menegakkan keadilan,” Kresna menarik nafas dalam-dalam, lalu katanya lagi, “Adinda Harjuna, perang Bharata Yudha ini adalah perang suci, ini perang untuk menghentikan angkara murka, kesemena-menaan, keserakahan, yaitu ketamakan para Kurawa. Ini yang wajib diperangi,” papar Kresna. Seketika itu Harjuna berdiri dari duduknya sembari menengadahkan wajahnya ke atas. Kresna kembali berbicara, “Adinda Harjuna, perang Bharata Yudha ini memang akibat dari ketidakadilan yang diterima Pandawa. Karena Kurawa telah menanam bibit bencana, maka Kurawalah yang akan menuai prahara.”
Malam semakin malam. Langit tertutup mendung. Di atas pohon terdengar sayup koak burung hantu.
Dalam pada itu, suara Kresna agak meninggi, “Adinda Harjuna, karena itu siapa saja yang berdiri membela Kurawa itu adalah musuh-musuhmu. Walaupun itu gurumu, seperti Pandita Durna. Meskipun kakakmu seperti Adipati Angga Karna. Mungkin juga kakekmu, Eyang Bisma, dan sepupu-sepupumu para Kurawa. Wajib untuk diperangi, karena memerangi mereka adalah memerangi angkara murka,” seru Kresna tegas.
Harjuna mendadak bersimpuh dihadapan Kresna dengan menghatur sembah, dan katanya lirih, “Maafkan hamba kakanda, karena hamba berhati kecil menghadapi perang ini. Tetapi, setelah kakanda memaparkan hakikat perang, maka hamba sudah bisa menghilangkan rasa keraguan,” suara Harjuna.polos.
Pagi hari, terompet perang ditiup oleh prajurit kedua belah pihak, itu tanda perang besar Bharata Yudha dimulai. Harjuna telah berpakaian perang dengan memegang busur panah, anak panah tertata di cungkupnya dan terikat erat di punggung. Sinar mentari masih menampakkan ujungnya, Harjuna mempersiapkan pasukan Amarta untuk berangkat ke medan laga.
Sementara pihak Hastina, Adipati Angga Karna juga tak kalah gesitnya mempersiapkan pasukannya.
Perang besar Bharata Yudha dimenangkan Pandawa. Lantas Pandawa menyatukan negara Amarta dan negara Hastina. Yudhistira dinobatkan sebagai raja. Kresna sebagai penasehat raja. Bima dan Harjuna dipercaya sebagai senopati perang. Nakula dan Sadewa menduduki tata kelola pemerintahan. Rakyat hidup tenteram, cukup sandang pangan.
*
Poedianto, Guru SMK Pariwisata Satya Widya Surabaya.